Rabu, 24 Agustus 2011

Nothing Wrong to Try


Oleh Syaifoel Hardy
Berangkat dari keinginan mewujudkan impian masa depan, sambil bekerja di sebuah sekolah, saya kuliah lagi. Memang agak berat dalam artian dana. Mana harus bayar kos-kosan, makan, transport, uang kuliah dan buku. Belum lagi keinginan untuk tetap menyumbang ke orangtua juga adik-adik.
Mendiang Ayah pernah bilang ke saya: “Cita-cita itu melahirkan cita-cita!” Saya buktikan, yang ternyata benar. Bahwa dengan berubahnya cita-cita atau keinginan, otomatis garis hidup juga berubah. Minimal kegiatan rutin menuntut adanya perubahan. Terimakasih Ayah!
Meningkatnya kebutuhan dana yang lebih ini membuat saya berpikir bagaimana cara mendapatkannya. Tentu saja melalui cara-cara yang halal. Saya pun memulainya.
Pertama, mencoba mengirimkan artikel-artikel ke berbagai media massa. Siapa tahu bisa laku dan mengasilkan uang. Lumayan buat tambahan uang saku.
Sekali, dua kali, tiga kali, tidak ada respon. Saya tidak menyerah! Ada yang empat kali artikel baru dimuat. Honornya, ternyata luar biasa besar. Artikel saya diterbitkan oleh sebuah majalah kesehatan nasional terkenal, judulnya ‘Penatalaksanaan Diaper Rash’. Imbalannya, subhanallah, lebih besar ketimbang gaji pegawai negeri golongan dua A, waktu itu. Alhamdulillah, siapa yang tidak senang?
Tidak cukup sampai disitu. Karena kuliah di jurusan bahasa Inggris, saya menyoba pula menulis artikel Inggris. Sekali lagi, satu, dua, tiga, empat, hingga ke tujuh kali, artkel-artikel saya koq dibuang di tong sampah? Kali ke delapan baru artikel saya dimuat. Judulnya, hingga saat ini saya masih ingat: Singasari and the Artifact. Alhamdulillah. Gembiranya bukan main! Apalagi, tambahan duit pula mengalir.
Sampai tingkatan ini, mungkin redaktur majalah-majalah ini sudah ‘mengenal’ saya dan ‘bosan’ dengan bertubi-tubi datang tulisan saya, yang walaupun nggak dimuat, saya nggak pernah menyerah.
Sesudah mereka mengenal gaya tulisan mereka yang mana yang layak terbit, dari situlah saya mengenal rahasinaya. Hingga setiap bulan, akhirnya saya tidak lagi mengirimi Ibu duit dari gaji. Ibu sekarang memiliki Buku Tetap Wesel. Alhamdulillah….karema, mesin ketik, pakaian, jajan, sepatu, semuanya bisa terpenuhi dari tulisan yang diterbitkan.
Memasuki semester tiga, saya tidak ingin kalah dengan motivasi mahasiswa biasa yang dibiayai oleh orangtua mereka. Guna memacu semangat belajar, saya menyoba lagi ‘melamar’ kerja. Kali ini lucu: di tempat kerja di mana saya bekerja. Waktu itu, yang mengajar Bahasa Inggris adalah dosen IKIP. Saya katakan kepada pimpinan sekolah, bahwa saya mampu mengajar.
Di luar dugaan, permohonan saya diterima. Subhanallah. Kegiatan tambah, duit juga tambah. Saya menjadi makin tertantang.
Langkah berikut yang saya tempuh adalah menawarkan kepada teman-teman, siapa yang mau kursus. “Gratis!” saya bilang. Peserta pun membludak. Di luar dugaan, banyak yang berdatangan. Hingga saya bagi dalam dua kelompok. Kursus yang sama, saya dirikan di tempat lain.
Rupanya, teman-teman ini ‘tidak tega’, mengikuti kursus yang saya berikan dengan gratis begitu saja. Tambahan income pun mengalir lagi. Alhamdulillah!
Bagitulah seterusnya. Sambil bekerja formal, saya mengajar di dua sekolah, memberikan kursus di tiga tempat, kuliah lagi serta mulai banyak menulis. Pokoknya, anda nggak percaya. Sibuk sekali! Sampai yang namanya belajar untuk ujian saja kadang sulit mengaturnya.
Pembaca yang dirahmati Allah SWT….
Pengetahuan dasar ‘mencoba’ ini tidak saya hentikan sampai di situ. Sesudah kegiatan pontang-panting, kini saatnya mengangkatnya ke jenjang yang lebih tinggi. Di kampus, tempat saya kuliah, saya ingin bergaul dengan dosen-dosen. Waktu itu, karena usia saya di atas rata-rata mahasiswa biasa, para dosen yang masih muda kadang tidak bisa membedakan, apakah saya mahasiswa atau dosen.
Saya mencoba semua komunikasi dengan mereka dalam Bahasa Inggris. Saya dapat ilmu banyak dan pengalaman di kantor Dekan dengan dosen-dosen ini. Perasaan malu atau minder saya buang jauh. Terutama jika jam kuliah kosong.
Saya tidak mau dikatakan ‘ngatok’ oleh teman-teman kampus, karena uang kuliah harus keluar dari saku saya sendiri. Jadi, jika tidak maksimal belajar, untuk apa kuliah?
Alhamdulillah, dengan metode seperti ini, saya merasa bisa maju pesat. Kadang-kadang, dosen nggak keberatan saya ujian di rumah mereka. Alasan saya, ada kerjaan: ngajar di kursus-kursus. Alhamdulillah, saya tidak pernah mengalami masalah. Nilai IP menurut saya tidak pernah di bawah 3,5.
Sayangnya, saya tidak menyelesaikan kuliah. Sesudah menginjak semester tujuah, saya drop out, karena harus berangkat ke luar negeri.
Di luar negeri, system coba-coba ini tidak juga surut. Waktu kerja di Kuwait, saya adalah orang Indonesia pertama dalam profesi kami yang menginjakkan kaki di UAE untuk mencari kerja. Alhamdulillah Allah SWT selalu melapangkan jalan ini. Saya pun pindah kerja, dari Kuwait ke UAE.
Di Dubai, kota pusat perdagangan UAE, saya mencoba lagi, melanjutkan kuliah. Kemudian mencoba lagi pindah kerja. Alhamdulillah, meski badai menghantam, tapi saya tetap berlalu. Hingga sewaktu mencari loncatan bekerja lagi di Qatar.
Proses melamar pekerjaan butuh waktu. Kirim CV pertama, kedua, ketiga tidak ada respon. Setelah satu setengah tahun, barangkali perusahaan yang saya lamar ini ‘gerah’. Saya tidak cepat kapok! Alhamdulillah akhirnya diterima. Melamarnya pun cukup lewat internet.
Sambil bekerja di luar, jika pulang ke Indonesia, saya kunjungi beberapa kampus. Niat saya untuk sharing. Ada sebuah kampus ternama di kota kami waktu itu yang ‘menolak’ permohonan saya. Saya tidak menyerah.
Saya coba mengidentifikasi mengapa ini terjadi. Terobosan yang saya lakukan adalah mencoba berkomunikasi dengan dosen yang saya kenal sebagai ‘channel’. Kunci ini ternyata berhasil membuka. Tahun berikut, saya ‘lolos’. Artinya, mereka menerima kadatangan saya di antara mahasiswa untuk menjadi guru tamu. Alhamdulillah. Tidak sebatas di sini. Selain pengalaman berbagi terealisasi, saya juga disangoni!
Begitulah seterusnya…mencoba…mencoba…dan mencoba….. hingga berhasil.
Pembaca yang dirahmati Allah SWT….
Thomas Alva Edison melakukan uji coba temuannya tidak kurang dari 2000 kali. Apa yang saya ingin anda mengambil hikmah dari pengalaman di atas adalah, dalam hidup ini sebenarnya banyak sekali kesempatan untuk berubah, lewat sebuah langkah yang namanya ‘mencoba’.
Dengan mencoba, anda akan bisa merubah diri. Berubah dalam artian pengetahuan, ketrampilan serta sikap. Perubahan ini akan sangat menguntungkan jika kita tidak pernah menyerah, apalagi putus asa.
Maka dari itu, jika anda sedang menganggur, percayalah, banyak kesempatan kerja yang bisa anda masuki. Jika anda ingin pindah kerja, yakinlah masih banyak tempat atau perusahaan yang bakal bersedia menampung anda.
Jika anda ingin mendapatkan kerja sampingan, juga jangan berkecil hati, masih berjimbun lahan yang siap anda tanami. Semuanya, sekali lagi, tergantung pada anda. Apakah mau memulai mencobanya atau tidak.
Singkatnya, tidak ada istilah kegagalan. Yang ada adalah ketertundaan. Guna mengatisipasinya, jangan segan-segan mencoba dan mencoba lagi. Orang lain boleh bosan dengan yang anda kerjakan.
Tapi anda jangan berhenti mencoba lantaran kritik orang lain ini. Karena, keberhasilan atau ketertundaan has nothing to do with other people. Hanya anda lah yang mengalami serta merasakannya. Cobalah! Wallahu a’lam!

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop